Oleh : Syaiful Rizal, S.Pd.I., M.Pd
Selasa, 17 Agustus 2021 Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan ke-76. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, ditandai dengan pembacaan teks proklamasi oleh Ir Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Namun, bukan perkara mudah untuk memproklamirkan kemerdekaan tersebut. Ada pengorbanan besar bangsa Indonesia untuk terbebas dari penjajahan. Momentum ini tak akan terjadi tanpa serangkaian peristiwa yang melatarbelakanginya.
Maka sejak terlontarnya proklamasi oleh Sang Proklamator kita (Ir. Soekarno), perjuangan demi perjuangan yang ditapaki oleh pahlawan-pahlawan kita bukan hanya dari golongan Militer ataupun Ormas tapi juga terdiri dari para Ulama’ dan para santrinya terus bergelora. Ulama’ dan santri rela meninggalkan sanak famili, menghabiskan seluruh harta, mempertaruhkan jiwa dan raga untuk memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia.
Resolusi Jihad
Fatwa resolusi jihad bermula ketika Presiden Soekarno bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari mengenai hukum membela tanah air dari ancaman penjajah penjajah menurut hukum Islam. disaat itupun KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung menjawab melainkan meminta pendapat kepada para Kiai.
Bertepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengundang wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura yang bertepat di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias Jihad ataupun saat ini populer dengan Resolusi Jihad.
Latar belakang adanya Resolusi Jihad dilatar belakangi oleh pertempuran antara pasukan Inggris dengan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945. Dalam peperangan tersebut Bung Tomo menyampaikan pidatonya yang sangat melegenda, sebelum melontarkan pidato tersebut Bung Tomo terlebih dahulu menghadap KH. Hasyim Asy’ari beliau meminta izin untuk membacakan isi pidatonya yang merupakan resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh Ulama’ NU.
Setelah dikumandangkannya Resolusi jihad pada tanggal 10 November 1945 ribuan Kiai dan Santri datang ke Surabaya untuk berjuang untuk melawan tentara sekutu di bawah Komando Inggris yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) Belanda. Tentara sekutu dilengkapi dengan senjata modern kala itu dan para kiai serta para santri hanya bersenjata bambu runcing, anehnya mereka tidak merasa takut atau gentar sedikitpun untuk melawan sekutu. Pertempuran berlangsung selama 3 minggu yang dimenangkan oleh para pejuang.
Kita sebagai penerus bangsa haruslah bersyukur dan menghargai jasa para Ulama’, kyai kita yang telah berjuang untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan, maka kita sebagai penerus haruslah mengisi hari kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Khususnya para santri yang tau betul pengorbanan para ulama’ terdahulu kita.
Mahasantri
Di era kemerdekaan RI ke 76 menjadi sosok santri yang menjadi pahlawan kemerdekaan merupakan impian yang didambakan oleh santri. Istilah “mahasantri” cocok untuk disandingkan bagi santri yang statusnya menjadi mahasiswa. Mereka kuliah namun hidup di pesantren dan tiap hari beraktivitas layaknya santri pada umumnya. Pandai berbicara di depan umum, aktif berorganisasi, dan berIP tinggi impian selanjutnya bagi mahasantri.
Namun, banyak santri yang memiliki julukan mahasantri kebanyakan hanya mondok yang tidak serius karena dari aspek kegiatan dan waktu mereka memiliki toleransi tersendiri. Padahal dengan memondok Mahasantri dapat membentengi dirinya dari pergaulan bebas, mendapatkan pengetahuan agama yang dapat menambah keimanannya dan menjadi sosok pahlawan bagi NKRI sesuai dengan zamannya.
Pengisi Kemerdekaan NKRI
Mahasantri memiliki peran penting, tidak lagi dalam merebut kemerdekaan tetapi berperan penting dalam mengisi kemerdekaan. Sebab di tangan para Mahasanti itulah, masa depan bangsa Indonesia dipertaruhkan.
Yang dibutuhkan dari peran mahasantri pada zaman sekarang dalam mengisi kemerdekaan adalah dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat positif sehingga mereka bisa menjadi agen of chage bagi masyarakat menuju Indonesia yang lebih baik, yakni melalui :
- Menangkal Faham Radikalisme dengan mengkampanyekan dan mempromosikan kontra-narasi terhadap gejala radikalisme dan memproduksi kajian-kajian yang moderat dan inklusif.
- Menumbuhkan nilai-nilai karakter islami Mahasantri dengan mengimplematasikannya dalam kehidupan sehari-hari yakni dengan Beriman, Bertaqwa, Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab dan Hidup Sehat.
Bumi indonesia telah dibanjiri oleh darah keringat dan air mata perjuangan para Ulama’ serta santri. Mahasantri harus menjaga dan merawatnya sebagai bentuk ta’dzimnya mahasantri kepada para Ulama’. Pepatah mengatakan “Seandainya bumi Nusantara (Indonesia) ini dibelah menjadi dua maka yang keluar adalah para Ulama’ dan para santri”.