Oleh : Syaiful Rizal, S.pd.I., M.Pd
Jember, Setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional oleh Negara Agrarsi (Indonesia). Bukan tampa alasan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan Negara Agraris, mengingat Negara ini memiliki tanah yang subur. Ada yang mempribahasakan Negara Indonesia dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, yang artinya memiliki kekayaan yang berlimpah, bahkan syair sebuah lagu “Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman” mewakili tanah Indonesia yang sangat subur. Suburnya Indonesia dibuktikan dengan sebagian lahannya dipergunakan sebagai lahan pertanian dan membuat profesi petani mempunyai peran penting.
Pada era perjuangan kemerdekaan, masyarakat yang berprofesi sebagai petani kala itu sangat mendominasi. Presiden pertama RI bahkan menganggap petani sebagai tulang punggung bagi identitas Indonesia. Bung Karnopun yang mempopulerkan istilah kata “Petani” yaitu sebagai Penjaga Tatanan Negara Indonesia, yang disampaikan pertama kali pada tahun 1952. Oleh karena itu, petani selalu dipandang spesial sebagai penjaga ketahanan pangan.
Profesi Petani belakangan sering menjadi bulan-bulanan berbagai macam bentuk ancaman. Industrialisasi, misalnya. Perkembangan industri yang cukup pesat turut menggeser profesi petani. Bertani yang dulu didampakan saat ini tidak lagi diminati bahkan cenderung dihindari dan ditinggalkan. Belum lagi, diperburuk dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada para petani dari harga dan kelangkaan pupuk, murah dan tidak terserapnya hasil pertanian oleh pemerintah dan lain sebagainya.
Islam memuliakan profesi petani, selain mendapat manfaat ekonomi untuk mencukupi keluarga, bertani juga ibadah. Dilansir dari bincangsyariah.com dari penulis La Aa Li Maknunah Allah swt di dalam al-Qur’an menyebutkan anugerah-anugerah yang Ia karuniakan agar seseorang mau untuk bercocok tanam. Di dalam kitab al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Syekh Yusuf Qaradhawi menyebutkan bahwa Allah telah menyiapkan bumi untuk tumbuh-tumbuhan dan penghasilan. Oleh karena itu Allah menjadikan bumi itu dzalul (mudah dijelajajahi) dan bisath (hamparan) di mana hal tersebut merupakan nikmat yang harus diingat dan disyukuri. Allah swt berfirman;
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا (19) لِتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا 20
“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan. Agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (QS. Nuh [71]: 19-20)
وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ (10) فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ (11) وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ (12) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (13)
“Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya). Di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman [55]: 10-13)
Selain bumi, Allah juga memudahkan adanya baik baik dari langit maupun bumi. Dari langit Allah turunkan hujan sedang dari bumi Allah alirkan sungai-sungai yang kemudian bisa menghidupkan bumi.
وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا
“Dan Dialah yang menurunkan air dan langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak. (QS. Al-An’am [6]: 99)
Lalu Allah meniupkan angin sebagai kabar gembira yang mampu menggiring awan dan mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Dalam hal ini Allah berfirman;
وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ (19) وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ (20) وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ (21) وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ (22)
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehiudupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya (QS. Al-hijr [5]: 19-22)
Ayat-ayat di atas merupakan peringatan dari Allah untuk manusia atas nikmat bercocok tanam dan Allah telah mudahkan alat-alat atau keperluannya. Rasulullah saw pun bersabda;
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ رواه البخاري
“Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani kemudian burung, manusia atau pun binatang ternak memakan hasilnya, kecuali semua itu merupakan sedekah baginya. (HR. Bukhari)
Hadis tersebut menjelaskan bahwa selama hasil tanamannya dimakan oleh burung atau hewan ternak atau dimanfaatkan oleh manusia maka pahala tersebut tetap terus mengalir kepada pemiliknya meskipun ia telah meninggal atau tanamannya berpindah kepemilikan.
Pentingnya kedudukan petani ini telah disadari oleh ulama-ulama Islam termasuk ulama NU. K.H. Hasyim As’ari telah menulis tentang pentingnya bercocok tanam dan kedudukan kaum tani. Tercatat tulisan beliau yang dimuat dalam Majalah Soeara Moeslimin, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363 atau 14 Januari 1944 membahas pertanian secara singkat. Bagi Kiai Hasyim, pertanian tidaklah berdiri sendiri. Berbagai paparan yang beliau kutip dari al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab-kitab klasik menunjukkan bagaimana pertanian mendapat perhatian yang sangat penting dalam ajaran Islam.
Maka dengan ini, saatnya kaum muda islam yang sebagian dibesarkan dan berasal dari lingkungan petani seyogyanya tidak meninggalkan profesi petani. Kaum muda islam seharusnya bangga dan mau terjun langsung dalam dunia pertanian. Semangat berinovasi dan berkreasi dalam dunia petanian perlu ditingkatkan dan diglorakan. Dampaknya, hasil pertanian dapat dimaksimalkan dengan biaya produksi yang lebih ditekan. Maka hal ini akan berdampak positif pada naiknya pamor petani, yang pada saat ini semakin lama semakin luntur. (Sr)